Di Indonesia, Ulangan dan Ujian Didewakan. Anak Jadi Takut Berbuat Gagal, Tanpa Pernah Dibimbing Untuk Belajar dari Kegagalan
Anak terlahir dengan bakat intelegensia yang berbeda, kreativitas yang beda, serta latar belakang sosial budaya yang beda juga. Seandainya kita memberikan mereka satu tes, pastikan bahwa tujuan tes itu adalah mengetahui kemampuan mereka sehingga kita tahu mana yang harus diperbaiki dalam sistem pendidikan kita. Bukannya malah menakut-nakuti, mengancam, atau menghukum mereka dengan sanksi sosial ketika mereka gagal:
“Kalian jangan sampai gak lulus UN ya! Mau ditaruh di mana nanti muka sekolah kita?”
Tapi ancaman ini tidak dibarengi dengan tuntunan sekolah untuk mengambil pelajaran dari kegagalan seandainya mereka memang harus gagal. Tidak ada sekolah yang bilang, “Tidak apa kalau gagal, yang penting kalian sudah berusaha belajar. Bukannya toh masih ada ujian ulangan dan kejar Paket-C?”
Takut berbuat salah membuat anak nggak mau berpikir apa yang bisa dia lakukan jika kesalahan terjadi. Anak jadi lebih sulit memutar otak dan membuat Plan-B. Anak tak dibiarkan untuk menyiapkan ide orisinal jika sesuatu berjalan tak sesuai harapan.
Hal yang serupa toh juga terulang dalam kasus ulangan biasa. Jika anak menuliskan jawaban yang salah di kertas ulangan, kita tak lantas membimbing mereka untuk sigap mencari jawaban yang benar. Tanpa disadari, sistem pendidikan yang seperti ini telah mematikan kreativitas anak-anak.
Lalu, Apa yang Harus Diubah dari Sistem Pendidikan dan Sekolah-Sekolah Kita?
Bahkan di Inggris maupun Amerika, sistem pendidikan yang diterapkan manusia pada umumnya menyusun mata pelajaran secara hierarkis. Matematika selalu berada di posisi teratas, dengan porsi yang banyak dan selalu dianggap terpenting — bahkan sering menjadi syarat kelulusan. Di bawahnya ada pelajaran Bahasa, lalu diikuti pelajaran bersifat budi pekerti. Kesenian selalu mendapat porsi paling kecil, dan gak jarang diajarkan ketika jam sekolah sudah hampir berakhir. Di Indonesia seni dan kebudayaan juga seringkali hanya dianggap sebagai muatan lokal — sekadar untuk memenuhi kurikulum.
Hierarki seperti ini sudah tak relevan di zaman dimana ekonomi kreatif semakin menggeliat. Sudah waktunya untuk mengajarkan pada anak bahwa matematika, ekonomi, sains, bahasa, hingga pelajaran komputer dan kesenian adalah sama pentingnya.
Kita harus pula hati-hati dalam menetapkan standarisasi. Anak-anak yang bisa disekolahkan orangtuanya di sekolah-sekolah berkualitas di kota sudah hampir pasti berbeda kemampuannya dengan anak-anak di pedesaan terpencil yang sering libur sekolah karena tak ada guru. Maksudnya bukanlah bahwa anak-anak di pedesaan ini bodoh — maksudnya adalah tidak adil untuk mengukur kemampuan mereka dengan tes yang sama, sementara perhatian pemerintah terhadap mereka saja tidak sama!
Kurikulum Selalu Diubah Hampir Tiap Kali Menteri Pendidikan Diganti. Apakah yang Sekarang Akan Lebih Baik?
Hampir tiap kali menteri pendidikan baru menjabat, selalu ada perubahan kurikulum bagi sistem pendidikan di Indonesia. Benarkah ada perubahan nyata yang ditawarkan oleh kurikulum-kurikulum baru, ataukah ini hanya sekadar perubahan kosmetik alias ganti nama?
Sejak duduk di bangku SD hingga SMA dulu, mungkin kamu sudah mencicipi 2-3 kali pergantian kurikulum. Adakah perbedaan signifikan yang kamu rasakan? Selama ini — entah tak peduli berapa kali kurikulum berganti — secara umum kita hanya merasakan hal yang sama: guru datang, memberi pelajaran, menugaskan latihan dan PR, serta sesekali ulangan sebagai evaluasi. Apa bedanya?
Jangan-jangan pergantian kurikulum yang begitu sering ini hanya dijadikan kedok sebagai ladang korupsi. Tahun ini Menteri Anies Baswedan membatalkan penerapan Kurikulum 2013. Bagaimana pengaruhnya dalam jangka waktu ke depan, masih harus menunggu waktu.
Sistem pendidikan yang pernah kita cicipi (dan sekarang sedang dienyam oleh anak, adik atau keponakanmu) bersifat kaku dan linear, mirip seperti program-program yang mencetak robot. Padahal tiap-tiap manusia, termasuk kamu dan keluargamu, bersifat organik dan tak pernah bisa ditebak.
Sistem yang kita terapkan selama ini memaksa anak didik untuk berjalan di jalur kaku yang sudah ditetapkan. Meniti jalur yang berbeda berarti pemberontak dan nakal.
Sekarang kita punya PR besar: memikirkan prinsip seperti apa yang seharusnya digunakan untuk mendidik generasi penerus. Apapun itu, harus ada pendekatan baru dalam memupuk kreativitas anak, agar sekolah bisa berhenti membunuhnya.
sumber: hipwee.com
Be the first to comment