Menjelang akhir semester genap tahun akademik 2014–2015, suasana Kampus ITB di Jalan Ganesha, Bandung tambah ramai. Aktivitas perkuliahan semakin padat. Selain di dalam kelas, kegiatan akademis lain seperti diskusi-diskusi juga terlihat di pelataran, taman, dan kantin.
Tidak terkecuali yang dilakukan Rhesa Avila Zainal, mahasiswa Program Studi Teknik Kimia, Fakultas Teknologi Industri. Selain sibuk kuliah, dia baru merampungkan eksperimennya tentang semen hidup. Karya inovasi itu menjadi salah satu karya paling menonjol dalam ITB Innovators Move 2015.
Kompetisi bergengsi tersebut diikuti 120 judul proposal, namun hanya dipilih sembilan sebagai pemenang dan berhak dipertemukan langsung dengan pelaku usaha. Tujuannya, hilirisasi atau mewujudkan inovasi itu menjadi barang siap jual.
”Seleksinya sangat ketat. Dari 120 proposal diciutkan lagi menjadi 25 sebelum akhirnya tinggal sembilan yang dinyatakan sebagai pemenang,” ujar Rhesa ketika ditemui di kampusnya kemarin (6/4).
Dalam kompetisi antarmahasiswa ITB itu, Rhesa dibantu teman sejawatnya, Corwin Rudly. Setelah memutar otak, mahasiswa kelahiran Jakarta, 17 Maret 1994, tersebut mendapatkan permasalahan kronis Indonesia, yakni infrastruktur jalan yang rusak, sebagai ide dasar karyanya. Apalagi dia sering menjumpai sendiri saat bepergian lewat jalan darat.
”Saat mengikuti kuliah kerja di beberapa kota di Sumatera, saya bisa merasakan sendiri bagaimana kondisi jalan-jalan di trans-Sumatera. Jalannya banyak yang rusak,” ungkap Rhesa.
Anak pasangan Hery Adriawan Zainal dan Meirina Zainal itu mengaku tidak bisa menikmati perjalanan jauhnya dengan menggunakan bus lintas Sumatera. Selain berlubang, banyak jalan yang bergelombang. ”Saya sampai tidak bisa tidur selama perjalanan.”
Dia lalu mengumpulkan sejumlah referensi dari surat kabar maupun media lain untuk mempertajam pokok pembahasan temanya. Misalnya, informasi tentang anggaran untuk perbaikan jalan raya sepanjang jalur pantura (pantai utara) yang cukup fantastis, Rp 1,7 triliun per tahun. Data lainnya adalah perihal anggaran perbaikan jalan yang disiapkan Pemprov DKI Jakarta yang mencapai Rp 250 miliar per tahun.
”Artinya, biaya yang diperlukan untuk perbaikan jalan begitu besar. Karena itu, saya mengajukan karya inovasi semen hidup untuk menekan biaya renovasi, bahkan menghapusnya,” beber Rhesa.
Berbekal ilmu yang didapat di kelas kimia, Rhesa lantas mengaplikasikan makhluk hidup renik atau mikroorganisme ke dalam campuran semen sebagai bahan baku pembuatan beton. Mikroorganisme yang cocok untuk inovasi itu masuk dalam rumpun atau tipe bacillus. Bakteri tersebut dipilih karena bisa mengeluarkan kotoran berupa zat kapur. Cocok dengan bahan baku semen yang juga zat kapur.
Sifat lain mikroorganisme yang satu ini juga unik. Jika mendapati lingkungan yang tidak cocok, ia akan menjadi spora. Dalam bahasa sederhana, mikroorganisme tipe bacillus akan mati suri sendiri dan akan hidup lagi pada saatnya. Rangsangan yang paling ampuh untuk membuat mikroba tersebut hidup lagi adalah air hujan.
Jadi begini cara mengatasi beton retak dengan semen hidup karya anak negeri. Jadi, ketika ada beton yang terbuat dari campuran semen dan bakteri bacillus itu yang retak, masyarakat tidak perlu cemas. Dengan bantuan guyuran hujan, retakan beton tersebut akan tertutup kembali setelah bakteri bacillus hidup lagi dan buang hajat.
Menurut ketua Himpunan Mahasiswa Teknik Kimia itu, untuk mendapatkan hasil semen hidup yang maksimal, ada takaran ideal antara jumlah semen dan mikroba bacillus. Yakni, setiap satu meter kubik semen idealnya dicampur dengan 15 kg bakteribacillus.
”Sebenarnya komposisi bakterinya bisa dikurangi. Tapi, hasilnya memang kurang efektif. Yang bagus bila jumlah bakterinya lebih banyak karena kita tidak tahu di mana saja beton yang retak,” jelas bungsu dua bersaudara itu.
Rhesa menegaskan, proses memperbaiki sendiri tersebut hanya berlaku di retakan-retakan dalam. Proses penimbunan kapur dari bakteri tidak akan sampai ke permukaan beton. Sebab, bakteri itu akan mati jika terpapar sinar matahari secara langsung.
Dalam penelitiannya, Rhesa sempat mengalkulasi berapa lama semen hidup memperbaiki diri sendiri. Untuk sebuah retakan berukuran 0,8 milimeter, misalnya, dibutuhkan waktu sekitar tiga pekan untuk menutup sendiri. Ketika retakan menyebar, masing-masing bisa memperbaiki sendiri karena di sekelilingnya ada sekumpulan bakteri. Sementara itu, untuk kembali ke kekuatan beton seperti semula, dibutuhkan waktu sekitar dua bulan.
Inovasi Rhesa cs memang belum sempurna dan masih di permukaan. Karyanya juga belum berwujud prototipe. Tetapi, inovasi itu sudah menarik perhatian pengurus Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (Hipmi) Kota Bandung. Secara khusus, tim Rhesa diundang makan malam oleh pengurus Hipmi Bandung akhir Maret lalu.
Dalam pertemuan tersebut, Hipmi memberikan apresiasi atas lahirnya inovasi semen hidup. Inovasi itu berpotensi diproduksi secara masal. Hipmi bahkan berharap sebelum lulus kuliah Rhesa dan kawan-kawan bisa menjadi pengusaha semen hidup.
”Kalau menunggu lulus, nanti malah tergiur iming-iming gaji besar menjadi pegawai,” ungkap mahasiswa semester enam itu.
Namun, ketika ditanya apakah berniat mengembangkan inovasi semen hidup menjadi produk dagangan, Rhesa menjawab diplomatis. Untuk saat ini, dia memilih berfokus menyelesaikan kuliah yang tinggal dua semester lagi. ”Sebab, kuliah saya masih dibiayai orang tua,” tuturnya lantas tertawa.
Rhesa menambahkan, delapan karya inovasi lainnya juga tidak kalah keren. Di antaranya, robot yang bisa bermain angklung, pemanfaatan mikro-alga yang mampu mengonversi limbah tambak menjadi biodiesel, serta aplikasi peringatan bencana yang diberi nama Darurat.
Rhesa berharap pemerintah berkomitmen mengakomodasi inovasi-inovasi anak negeri yang berdaya guna tinggi. Baik di bidang infrastruktur, ketahanan energi, ketahanan pangan, maupun bidang lain. ”Biar ada gunanya penelitian ini,” tandas dia.
sumber: jawapos.com
Be the first to comment