Kata dia dalam waktu tujuh hari ke depan, Pertamina dan Sonangol EP akan membentuk Gugus Tugas sehingga perusahaan patungan bisa dibentuk untuk merealisasikan berbagai kerjasama yang akan diinisiasi. Perusahaan patungan tersebut selanjutnya akan melakukan berbagai persiapan detail proyek-proyek serta pelaksanaannya yang disepakati oleh Pertamina dan Sonangol.
“Proyek pembangunan kilang itu sangat diperlukan Indonesia untuk menjamin ketahanan energi nasional,” katanya.
Konsumsi BBM di Indonesia terus tumbuh sekitar 8% per tahun, di sisi lain tingkat produksi minyak mentah menurun dan kapasitas kilang tidak bertambah. Menurut Husein, Pertamina terus berupaya mendukung pemerintah untuk menjamin ketahanan energi nasional, baik melalui upaya-upaya peningkatan produksi di hulu yang bersumber dari dalam maupun luar negeri, peningkatan kapasitas kilang, dan juga upaya konversi dan diversifikasi energi.
“Pertamina optimis bahwa dalam kurun waktu 5-6 tahun ke depan Indonesia akan bisa swasembada energi. Untuk itu Pertamina siap menjadi tulang punggung dalam mencapai upaya tersebut,” tandasnya.
Pengamat: Pemerintah Mesti Transparan Soal Kerja Sama Migas dengan Angola
Terkait penandatanganan yang dilakukan Pemerintah Indonesia di bawah kepemimpinan Presiden Joko Widodo melakukan perjanjian internasional pertamanya, Jumat (31/10/2014) kemarin. Bertempat di kantor Wakil Presiden RI, Jakarta, Pelaksana Tugas Direktur Utama Pertamina Muhamad Husen menandatangani Framework Agreement dengan Chairman of Board of Director Sonangol EP, Francisco de Lemos Jose Maria.
Wakil Presiden Jusuf Kalla, yang turut menyaksikan penandatangan tersebut menyatakan, perjanjian ini merupakan usaha pemerintah menyeimbangkan kebutuhan dan produksi bahan bakar minyak (BBM) dalam negeri.
JK mengatakan, produksi BBM dalam negeri yang hanya 800 ribu barel per hari tak mampu memenuhi kebutuhan BBM yang kini telah mencapai 1,6 juta barel per hari. Permintaan BBM dalam negeri naik delapan persen setiap tahun.
Langkah yang diambil pemerintah ini diapresiasi pengamat energi, Mamit Setiawan. Ia menganggap perjanjian ini dapat mengurangi dan membatasi peran trader atau maling minyak. “Membeli langsung ke negara produsen merupakan usaha yang cukup bagus,” ujarnya di Jakarta, Sabtu (1/11/2014).
Namun pengamat dari Energy Watch ini heran, proses penjajakan perjanjian berlangsung begitu cepat. Ia menuturkan belum pernah mendengar kajian pemerintah terkait impor BBM dari Angola.
Mamit khawatir, perjanjian ini telah direncanakan cukup lama oleh mereka yang mengincar keuntungan tertentu. “Jangan sampai istilah kejar setoran terjadi,” katanya.
Untuk membuktikan mafia migas tidak berperan dalam perjanjian ini, Mamit berkata, pemerintah harus transparan soal harga beli dan jenis minyak yang diimpor, termasuk biaya pengapalannya. Dengan membuka data tersebut ke publik, masyarakat bisa turut menghitung penghematan anggaran yang bisa dilakukan pemerintah.
Sebagaimana diketahui, Menteri ESDM Sudirman Said, Jumat kemarin mengungkapkan, pembelian minyak ke Angola bisa menghemat kas negara hingga USD 2,5 juta perhari atau Rp 15 triliun dalam setahun.
Be the first to comment